Menolong sejatinya adalah mulia. Tapi ketika saya melihat
seseorang yang sepertinya ingin ditolong, saya terlalu banyak berpikir. Mata
saya mengirim gambar ke otak dan otak mengolahnya menjadi rasa iba. Ketika sadar
apa tindakan yang ingin kita lakukan untuk orang lain, moment itu sudah
terlewat. Dengan cepat rasa iba itu menyesak di hati saya. Saya menderita
sekali. Dan menderita…menderita sekali…
Kemarin saya #menderita ketika naik kereta listrik. Kereta
sudah penuh, saya ingin menunggu kereta berikutnya saja. Banyak penumpang yang turun membuat masih ada ruang untuk
saya. Hampir yang terakhir saya naik. Bahkan sudah berjalan pelan ketika kaki
saya baru satu berada di gerbong. Belakang saya seorang kakek yang berambut
putih, berpeci putih, berkemeja putih yang sudah sedikit pudar namun bersih.
Saya langsung mendorong masuk agar tidak tertinggal. Meskipun kereta sangat
pelan sehingga saya sukses menaikinya. Tapi tidak kakek tadi. Kakinya yang
telah tua, tidak bisa bergerak cepat sehingga ia tidak berhasil naik. Ia
berjalan mengejar gerbong. Kami bertemu pandang lama. Dia mengejar kereta
hingga menyerah sambil tetap memandang saya. Tolong, bantu saya! Kata yang
ingin disampaikan. Karena saya terlalu menderita memandangnya, saya tidak menolongnya.
Betapa mencelos perut saya, demikian luka hati saya. Berapa lama lagi ia harus menunggu kereta
berikutnya. Apalagi setelah system ekomuter diberlakukan. Kereta ekonomi
semakin langka. Apa yang beliau rasa? Kalah atau terlalu merasa tua. Tak sanggup
lagi berkompetisi dengan dunia. Saya benar-benar menderita.
Kadang tidak bisa menolong orang lain membuat kita merasa
sangat menderita. Banyak hal yang serupa berhasil membuat saya demikian. Pun
saya tak sanggup menulisnya…