Tangan

by - October 14, 2011


Menolong sejatinya adalah mulia. Tapi ketika saya melihat seseorang yang sepertinya ingin ditolong, saya terlalu banyak berpikir. Mata saya mengirim gambar ke otak dan otak mengolahnya menjadi rasa iba. Ketika sadar apa tindakan yang ingin kita lakukan untuk orang lain, moment itu sudah terlewat. Dengan cepat rasa iba itu menyesak di hati saya. Saya menderita sekali. Dan menderita…menderita sekali…

Kemarin saya #menderita ketika naik kereta listrik. Kereta sudah penuh, saya ingin menunggu kereta berikutnya saja. Banyak penumpang  yang turun membuat masih ada ruang untuk saya. Hampir yang terakhir saya naik. Bahkan sudah berjalan pelan ketika kaki saya baru satu berada di gerbong. Belakang saya seorang kakek yang berambut putih, berpeci putih, berkemeja putih yang sudah sedikit pudar namun bersih. Saya langsung mendorong masuk agar tidak tertinggal. Meskipun kereta sangat pelan sehingga saya sukses menaikinya. Tapi tidak kakek tadi. Kakinya yang telah tua, tidak bisa bergerak cepat sehingga ia tidak berhasil naik. Ia berjalan mengejar gerbong. Kami bertemu pandang lama. Dia mengejar kereta hingga menyerah sambil tetap memandang saya. Tolong, bantu saya! Kata yang ingin disampaikan. Karena saya terlalu menderita memandangnya, saya tidak menolongnya. Betapa mencelos perut saya, demikian luka hati saya.  Berapa lama lagi ia harus menunggu kereta berikutnya. Apalagi setelah system ekomuter diberlakukan. Kereta ekonomi semakin langka. Apa yang beliau rasa? Kalah atau terlalu merasa tua. Tak sanggup lagi berkompetisi dengan dunia. Saya benar-benar menderita.

Kadang tidak bisa menolong orang lain membuat kita merasa sangat menderita. Banyak hal yang serupa berhasil membuat saya demikian. Pun saya tak sanggup menulisnya…

You May Also Like

0 comments

saran, kritik dan masukan sangat dibutuhkan.