seni, masterpiece dan uang.

by - January 04, 2009

Berjalan menyusuri mal-mal yang menjulang menyentuh langit kota Jogja. Pola hidup hedonis, budaya konsumtif. Katanya ini yang membuat Indonesia jalan di tepat. Tidak maju, malah mundur. Tapi toh Jogja ingin seperti Jakarta, membangun banyak mal disana-sini. Apa salahnya berkunjung sesekali jika stres karena teori-teori konvensional yang terus saja dijejalkan pada mahasiswa untuk kemudian telan saja. Akan keluar pada lubang yang lain, tak sempat dicerna. Akan tercipta manusia yang penuh dengan teori.

Bersama seorang teman melewati box besar berisi kaset pita yang tidak bersahabat dengan teknologi. Manusia sudah berpaling ke CD bukan lagi kaset. Jadilah setumpuk menggunung kaset-kaset dengan tanda diskon 50%. Album lamanya Glen, Krisdayanti, dan Tangga ada disana. Kasihan, kata temanku matanya tidak lepas dari kaset malang itu. Sudah capek-capek eh.. tidak dihargai. Aku pun mencoba menganalisis dengan ilmu marketing yang cetek. Dijual setengah harga bukan tentu perusahaan rekaman tersebut merugikan? Atau paling enggak menutupi biaya ke produksi. Kalau pun merugi, pasti akan tertutupi dengan penjualan karya dalam bentuk lain. Sekarang jamannya compact disc , dan RBT. Mungkin mereka tidak membeli dalam bentuk kaset lagi tapi CD atau memasang RBT di phone cell mereka. Jadi tidak setuju kalau masalah ini dianggap suatu bentuk tidak menghargai karya seni. Dan apakah karya seni di hargai dengan uang? Harus dengan uang?!!!!

Mata kuliah yang membosankan. Lagi-lagi teori lama yang sebenarnya pernah disampaikan. Beberapakali malah. Iseng melirik teman di sebelahku, biasanya dia tidur waktu dosen ini yang ngajar. Kali ini dia membaca. Aku teringat beberapa hari lalu aku melihat ada bazaar buku murah. Aku bilang padanya kalau aku tertarik pada satu buku tapi tidak kubeli. Buku biografi. Harganya lima belas ribu. Dia tertawa ngekek. Itu mah biodata, katanya. Aku berkilah, buku tersebut adalah biografi bukan sembarangan orang. Biografi seseorang yang hebat di bidangnya. Sekelas Pramudya Ananta Toer di bidang pernovelan , dan W.S. Rendra di dunia persyairan tanah air. Tentunya tidak disusun secara sembarangan.

Kami pun berdiskusi kecil di kelas dimana dosen sedang mengoceh. Aku bertanya, Memang seseorang berkarya untuk mencari materi? Hingga kita harus menghargainya dengan uang. Kalau temanku itu menjawab iya, lunglai sudah tubuhku. Beruntunglah temanku menjawab tidak. Ada kemungkinan kan? Seseorang berkarya karena cuma ingin di dengar dan hanya ingin menulis apa yang dirasakannya? Seorang musisi ingin menunjukkan bahwa ia bisa bermusik, memperdengarkan petikan gitarnya, suara syahdunya, syair sendunya, atau rasa cintanya pada seseorang. Seorang penulis ingin menyampaikan kegelisahannya lewat tinta dan kertas. Atau dia ingin bilang bahwa ada sesuatu yang salah dalam hidup kita. Haruskah kita melemparkan uang ke mukanya sebagai tanda kita menghargainya? Padahal bukan berarti mereka mencari uang. Mereka menyampaikan sesuatu lewat karya seni, mereka membuat masterpiece, dan kita membahas uang! Tidak semua yang ada di dunia ini dapat diukur. Apalagi dengan uang.

Mungkin yang salah dosen yang di depan itu, tak mengajarkan kami cara berfikir tetapi teori dan teori. Hingga kami lupa berfikir. Kalau saya boleh berpendapat bahwa karya seni harusnya gratis. Bisa buat siapa saja. Kalau melulu soal uang maka yang tambah pintar adalah orang kaya, yang akan terhibur juga orang-orang berduit. Lama-lama yang boleh pintar hanya orang kaya. Dan yang boleh senang harus punya duit. Mari menghargai karya seni dengan apa saja selain uang. Apresiasi mungkin? Yang penting jangan melulu soal duit. Seperti dosen yang mengajar hanya karena duit terlihat hasilnya.

Salam penuh cinta

Nanda

You May Also Like

0 comments

saran, kritik dan masukan sangat dibutuhkan.