Pulang dan Rumah

by - January 29, 2016

Sebagai orang yang pernah muda (dan sampai sekarang juga masih muda), kata "Aku sedang tidak ingin pulang" terdengar sangat keren. Apalagi jika dibandingkan kata "Aku tidak bisa pulang".

Jiwa muda memang seperti itu. Tak ingin pulang untuk membuktikan sesuatu. Menguasai malam dan menghabiskannya dimana saja asal bukan di rumah. Kemudian kamu yang sedikit lebih dewasa dari sebelumnya akan berkata "Aku kangen rumah". Atau mengatakan "Kangen ibu"  atau "Kangen masakan ibu" yang sebenarnya maknanya sama : ingin pulang.

Pulang sendiri ternyata tak selamanya rumah Ibu atau Bapak. Bukan pula sekedar bangunan yang bisa kamu kunci dan menawarkan kenyaman. Karena hati seseorang pun bisa dijadikan rumah untuk seseorang pulang. Tempat dimana orang yang kamu cintai berada juga bisa langsung kamu jadikan rumah. Tetapi bagaimana jika kamu tidak bisa pulang? Kemana pun!

Setelah menonton film "Surat dari Praha", saya banyak menambahkan makna kata "Pulang" dan "Rumah". Karena hanya ada dua cara menambahkan makna dua kata tersebut. Benar-benar tidak bisa pulang--sehingga mau tak mau kamu merenungkannya--atau menonton film (seperti) ini.

Seseorang ternyata bisa bernasib sesial Mahdi Jayasri (diperankan Tyo Pakusadewo). Dia nyawa dari film ini. Jaya panggilannya. Usianya sudah tua dan dia tidak bisa pulang. Sudah puluhan tahun tidak pulang. Tidak bisa pulang kepada seseorang yang hatinya sudah seperti rumah. Tidak bisa pulang mencicipi lagi masakan ibunya. Tidak bisa pulang untuk berdebat dengan ayahnya seperti bapak-anak lainnya. Padahal banyak orang pulang kampung hanya untuk mati di tanah kelahirannya. Tetapi jangankan kampung. Negara saja dia sudah tidak punya. Jaya tidak bisa pulang karena kewarganegaraannya dicabut.

Sepanjang film saya sesak nafas dibuatnya. Beberapa kali hati saya mencelos. Karena orang seperti yang tak bisa pulang dan ditolak oleh negaranya sendiri tidak cuma dia saja. Bukan cuma dia yang tidak bisa mengantarkan rahimnya yang sudah tidak bernyawa ke liang lahat. Bukan cuma dia, pria yang tidak bisa mengantar pria yang paling dicintainya ke pusara. Bahkan untuk mengirim surat kepada kekasihnya, ia harus menunggu selama 20 tahun. Surat dari Praha. Surat dari tapol untuk orang yang dicintainya.

Penguasa memang bisa menjadi sangat menakutkan. Ia bisa melakukan sesuatu tanpa pernah diketahui rakyatnya. Termasuk membuang apa saja yang berharga dan tak berharga bagi bangsa ini. Sekarang, dengan suasana politik saat ini, ia mungkin sudah bisa pulang. Tetapi untuk siapa dia pulang setelah puluhan tahun ia di pengasingan? Untuk apa dia pulang ketika orang-orang yang dicintainya sudah berpulang?

Padahal film ini berakhir  dengan happy ending. Tetapi saya tidak bisa melupakan banyak hal yang telah diambil dari orang-orang seperti Jaya. Saya pulang dengan hati yang sedih dan dada yang sesak. Negara juga rumah untuk kita bisa pulang, bukan?

You May Also Like

0 comments

saran, kritik dan masukan sangat dibutuhkan.